A.
DEFENISI DAN KEUTAMAAN AL-QUR’AN
1.
Pengertian Wahyu
Secara Bahasa (Etimologi)
Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja
Qoro-’a (قرأ) yang bermakna Talaa (تلا) [keduanya bererti: membaca], atau
bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro-’a
Qor’an Wa Qur’aanan (قرأ قرءا وقرآنا) sama seperti anda menuturkan, Ghofaro
Ghafran Wa Qhufroonan (غفر غفرا وغفرانا). Berdasarkan makna pertam a (Yakni:
Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’uul,
ertinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a)
maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, ertinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi)
kerana ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.
Secara Syari’at (Terminologi)
Secara Syari’at (Terminologi)
Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada
Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam,
diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
Dan firman-Nya, “Dan Kami turunkan kepadamu
al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
dan khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl:89)
Al-Quran adalah firman atau wahyu yang berasal dari
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat jibril
sebagai pedoman serta petunjuk seluruh umat manusia semua masa, bangsa dan
lokasi. Alquran adalah kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab taurat,
zabur dan injil yang diturunkan melalui para rasul.Syaikh Abu Utsman berkata
:”Ashhabul Hadits bersaksi dan berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah
(ucapan Allah), Kitab-Nya dan wahyu yang diturunkan, bukan makhluk. Barangsiapa
yang menyatakan dan berkeyakinan bahwa ia makhluk maka kafir menurut pandangan
mereka.
Al-Qur’an merupakan wahyu dan kalamullah yang
diturunkan melalui Jibril kepada Rasulullah dengan bahasa Arab untuk
orang-orang yang berilmu sebagai peringatan dan kabar gembira, sebagaimana
firman Allah :
”Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar
diturunkan oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin
(Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara
orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”.
(Asy-Syu’ara: 192-195)
Al-Qur’an disampaikan oleh Rasulullah kepada
umatnya sebagaimana yang diperintahkan Allah
”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan
kepadamu dari Rabb-mu”. (Al-Maidah:67)
Dan yang disampaikan oleh beliau adalah kalamullah.
Rasulullah bersabda
”Adakah seseorang yang mau membawaku ke kaumnya ?.
Sesungguhnya orang-orang Quraisy menghalangiku untuk menyampaikan kalam
(ucapan) Rabbku” (HR. Bukhari dalam Af ‘alul ‘ibad, At-Tirmidzi, dan dishahihkan
oleh Ibnu Majah)
Al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah
berkata : “Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk. Barang-siapa yang
mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka dia telah kufur kepada Allah Yang
Maha Agung, tidak diterima persaksiannya, tidak dijenguk jika sakit, tidak
dishalati jika mati, dan tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin.Ia
diminta taubat, kalau tidak mau maka dipenggal lehernya.”
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal
dari bahasa Arab yang berarti “bacaan” atau “sesuatu yang dibaca
berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata
kerja qara’a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga
dijumpai pada salah satu surat Al-Qur’an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah
Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam
dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena
itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan}
bacaannya”.( Al-Qiyamah: 17-18)
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur’an sebagai
berikut: Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta
diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah.
Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur’an
sebagai berikut: Al-Qur’an adalah firman Allah yang tiada tandingannya,
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat
Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan
kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang
dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nass.
Struktur dan pembagian
Al-Qur’an
1. Surat, ayat dan ruku’
Al-Qur’an terdiri atas 114 bagian yang dikenal
dengan nama surah
(surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang
dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya
memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr.
Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku’
yang membahas tema atau topik tertentu.
2.
Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap
surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah
(surat Mekkah)
dan Madaniyah
(surat Madinah).
Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di
mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah
digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.
Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat, sebab ada
surat Madaniyah yang turun di Mekkah.
3. Juz dan manzil
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur’an juga terbagi
menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz.
Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur’an
dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur’an menjadi
7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua
jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan
tertentu.
4. Menurut ukuran surat
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat
yang ada didalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
- As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
- Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu’min dan sebagainya
- Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
- Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya
2. Fungsi Al-qur’an sebagai Pedoman Hidup Manusia
- Pokok Ajaran Dalam Isi Kandungan AlQuran
- Tauhid – Keimanan terhadap Allah SWT
- Ibadah – Pengabdian terhadap Allah SWT
- Akhlak – Sikap & perilaku terhadap Allah SWT, sesama manusia dan makhluk lain
- Hukum – Mengatur manusia
- Hubungan Masyarakat – Mengatur tata cara kehidupan manusia
- Janji Dan Ancaman – Reward dan punishment bagi manusia
- Sejarah – Teledan dari kejadian di masa lampau
- Fungsi Al-Qur’an
1. Pengganti kedudukan kitab suci sebelumnya yang
pernah diturunkan Allah SWT
2. Tuntunan serta hukum untuk menempuh kehidupan
3. Menjelaskan masalah-masalah yang pernah
diperselisihkan oleh umat terdahulu
4. Sebagai Obat
Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi
obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan (Alquran itu) tidaklah
menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (Al-Isra’ (17): 82).
5. Petunjuk pada jalan yang lurus
Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk pada
jalan yang amat lurus. (Al-Isrâ (17) ayat 9.
- Kedudukan Al Qur’an
- Kitabul Naba wal akhbar (Berita dan Kabar), QS. An Naba’ (7 : 1-2)
- Kitabul Hukmi wa syariat (Kitab Hukum Syariah), QS. Al Maidah (5) : 49-50
- Kitabul Jihad, QS. Al Ankabut (29) : 69
’Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
’
- Kitabul Tarbiyah, QS. Ali Imran (3) : 79
’Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah
berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada
manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.”
Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena
kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.’
- Minhajul Hayah (Pedoman Hidup)
- Kitabul Ilmi, QS. Al Alaq (96) : 1-5
‘Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.’
- Al-Qur’an Sebagai Minhajul Hayah (Pedoman Hidup)
Konsepsi inilah yang pada akhirnya dapat
mengeluarkan umat manusia dari kejahiliyahan menuju cahaya Islam. Dari kondisi
tidak bermoral menjadi memiliki moral yang sangat mulia. Dan sejarah telah
membuktikan hal ini terjadi pada sahabat Rasulullah SAW. Sayid Qutub
mengemukakan (1993 : 14) :
“Bahwa sebuah generasi telah terlahir dari da’wah
–yaitu generasi sahabat –yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam sejarah
umat Islam, bahkan dalam sejarah umat manusia secara keseluruhan. Generasi
seperti ini tidak muncul kedua kalinya ke atas dunia ini sebagaimana mereka…
Meskipun tidak disangkal adanya beberapa individu yang dapat menyamai mereka,
namun tidak sama sekali sejumlah besar sebagaimana sahabat dalam satu kurun
waktu tertentu, sebagaiamana yang terjadi pada periode awal dari kehidupan
da’wah ini…”
Cukuplah kesaksian Rasulullah SAW menjadi bukti
kemulyaan mereka, manakala beliau mengatakan dalam sebuah haditsnya:
عن عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Dari Imran bin Hushain ra, Rasulullah SAW
bersabda: ‘Sebaik-baik kalian adalah generasi yang ada pada masaku (para
sahabat) , kemudian generasi yang berikutnya (tabi’in), kemudian generasi yang
berikutnya lagi (atba’ut tabiin). (HR. Bukhari)”
Imam Nawawi secara jelas mengemukakan bahwa yang
dimaksud dengan ‘generasi pada masaku’ adalah sahabat Rasulullah SAW. Dalam hadits
lain, Rasulullah SAW juga mengemukakan mengenai keutamaan sahabat:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَسُبُّوا
أَصْحَابِي فَلَوْ
أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا
بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ ( رواه البخاري)
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Rasulullah SAW
bersabda, ‘Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku.Karena sekiranya salah
seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya ia tidak
akan dapat menyamai keimanan mereka, bahkan menyamai setengahnya pun tidak.
(HR. Bukhari).
Sayid Qutub mengemukakan (1993 : 14 – 23) ,
terdapat tiga hal yang melatar belakangi para sahabat sehingga mereka dapat
menjadi khairul qurun, yang tiada duanya di dunia ini. Secara ringkasnya
adalah sebagai berikut:
- Karena mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber petunjuk jalan, guna menjadi pegangan hidup mereka, dan mereka membuang jauh-jauh berbagai sumber lainnya.
- Ketika mereka membacanya, mereka tidak memiliki tujuan untuk tsaqofah, pengetahuan, menikmati keindahannya dan lain sebainya. Namun mereka membacanya hanya untuk mengimplementaikan apa yang diinginkan oleh Allah dalam kehidupan mereka.
- Mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masa lalu ketika jahiliah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masa lalu, baik yang bersifat pemikiran maupun budaya.
Dengan ketiga hal inilah, generasi sahabat muncul
sebagai generasi terindah yang pernah terlahir ke dunia ini. Di sebabkan karena
‘ketotalitasan’ mereka ketika berinteraksi dengan Al-Qur’an, yang dilandasi
sebuah keyakinan yang sangat mengakar dalam lubuk sanubari mereka yang teramat
dalam, bahwa hanya Al-Qur’an lah satu-satunya pedoman hidup yang mampu
mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat.
Ilmu-ilmu yang Membahas Hal-hal yang Berhubungan
dengan al-Qur’an antara lain :
- Ilmu Mawathin Nuzul, yaitu ilmu yang membahas tentang tempat-tempat turunnya ayat Qur’an.
- Ilmu Asbabun Nuzul, yaitu ilmu yang membahas sebab-sebab turunnya ayat Al-qur’an.
- Ilmu Tajwid, yaitu ilmu yang membahas tentang teknik membaca Al-Qur’an.
- Gharibil Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat yang asing artinya dalam Al-Qur’an.
- Ilmu Wajuh wa Nadhar, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat yang mempunyai banyak arti dan makna apa yang dikehendaki oleh sesuatu ayat dalam Al-Qur’an.
- Ilmu Amtsalil Qur’an, yaitu ilmu yang membahas tentang perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur’an.
- Ilmu Aqsamil Qur’an, yaitu ilmu yang mempelajari tentang maksud-maksud sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an.
3. Faedah dan Keutamaan Membaca Al-qur’an
Adab membaca Al Quran
- Membaca ta’awwudz sebelum membaca Al Quran (An-nahl:98 )
‘Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu
meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.’
- Orang yang suci, tak berhadas (Al-waqiah:79 )
- Khusuk saat mendengar Al Quran (Al-a’raaf:204)
‘Dan apabila dibacakan Quran maka dengarlah dan
perhatikanlah’
- Menghayati bacaan Al Quran (An-nisaa’:82)
‘Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran?
Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya.’
- Menangis saat membaca atau mendengar Al Quran (Al-ma’idah:83)
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan
kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan
kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka
sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah
kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan
kenabian Muhammad s.a.w.).
- Memperindah suara bacaan Al Quran (Al-muzzammil:4 )
‘atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran
itu dengan perlahan-lahan’
- Membaca Al Quran dengan suara keras (Al-israa’:110 )
Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman.
Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama
yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
janganlah pula merendahkannyadan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
- Selalu mengingat dan membaca Al Quran (Al-ahzab:34 )
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari
ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha
Lembut lagi Maha Mengetahui.
- Membaca Al Quran di malam hari (Ali imran:113 )
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada
golongan yang berlaku lurus],
mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka
juga bersujud (sembahyang).
- Berbuat sesuai dengan Al Quran (Al Baqarah:121 )
Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab
kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya[84], mereka itu beriman
kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah
orang-orang yang rugi.
Kitab suci Al-Qur’an memiliki beberapa keutamaan,
diantaranya adalah sebagai berikut:
- Bahasanya halus, indah tidak satupun yang mampu menandinginya
- Terpelihara keselamatan dan kemurniannya sejak diwahyukan hingga akhir zaman
- Bahasanya yang dipergunakannya sama untuk semua lapisan masyarakat, bangsa seluruh dunia, baik di Arab, Amerika, Afrika, Afganistan, India, Inggris, Indonesia, Jepang, Belanda, Malaysia dan sebagainya.
- Mudah dibaca, dihafal, dipelajari dan dipahami serta diamalkannya
- Merupakan suatu ibadah bagi yang membacanya atau mepelajarinya.
- Pembawanya orang yang “Ummi” yakni tidak dapat membaca dan menulis.Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an bukan hasil budi daya manusia, melainkan benar- benar Wahyu Allah Swt.
- Menjadi syafaat bagi orang yang membacanya kelak di hari kiamat.
Dari Abu Umamah Al Bahiliy, (beliau berkata), “Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ
الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ
وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا
فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا اقْرَءُوا
سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلاَ
تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ
“Bacalah Al Qur’an karena Al Qur’an akan datang
pada hari kiamat nanti sebagai syafi’ (pemberi syafa’at) bagi yang
membacanya.Bacalah Az Zahrowain (dua surat cahaya) yaitu surat Al Baqarah dan
Ali Imran karena keduanya datang pada hari kiamat nanti seperti dua awan atau
seperti dua cahaya sinar matahari atau seperti dua ekor burung yang
membentangkan sayapnya (bersambung satu dengan yang lainnya),
keduanya akan menjadi pembela bagi yang rajin
membaca dua surat tersebut. Bacalah pula surat Al Baqarah. Mengambil surat
tersebut adalah suatu keberkahan dan meninggalkannya akan mendapat penyesalan.
Para tukang sihir tidak mungkin menghafalnya.” (HR. Muslim)
- Mencakup dan menyempurnakan ajaran- ajaran kitab- kitab suci sebelumnya.
- Susunan ayat yang mengagumkan dan mempengarihi jiwa pendengarnya.
- Dapat digunakan sebagai dasar pedoman kehidupan manusia.
- Menghilangkan ketidakbebasan berfikir yang melemahkan daya upaya dan kreatifitas manusia (memutus rantai taqlid).
- Memberi penjelasan ilmu pengetahuan untuk merangsang perkembangannya.
- Memuliakan akal sebagai dasar memahami urusan manusia dan hukum-hukumnya.
- Menghilangkan perbedaan antar manusia dari sisi kelas dan fisik serta membedakan manusia hanya dasi takwanya kepada Allah SWT.
Permisalan Orang yang Membaca Al Qur’an dan
Mengamalkannya
Dari Abu Musa Al Asy’ariy, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda
الْمُؤْمِنُ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَعْمَلُ
بِهِ كَالأُتْرُجَّةِ ، طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ ، وَالْمُؤْمِنُ
الَّذِى لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَعْمَلُ بِهِ كَالتَّمْرَةِ ، طَعْمُهَا
طَيِّبٌ وَلاَ رِيحَ لَهَا ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ
كَالرَّيْحَانَةِ ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ
الَّذِى لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالْحَنْظَلَةِ ، طَعْمُهَا مُرٌّ – أَوْ
خَبِيثٌ – وَرِيحُهَا مُرٌّ
“Permisalan orang yang membaca Al Qur’an dan
mengamalkannya adalah bagaikan buah utrujah, rasa dan baunya enak. Orang mukmin
yang tidak membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah kurma,
rasanya enak namun tidak beraroma. Orang munafik yang membaca Al Qur’an adalah
bagaikan royhanah, baunya menyenangkan namun rasanya pahit. Dan orang munafik
yang tidak membaca Al Qur’an bagaikan hanzholah, rasa dan baunya pahit dan
tidak enak.” (HR. Bukhari no. 5059)
KEUTAMAAN AL-QUR’AN YANG LAIN:
Sabda Rasulullah saw, ”Keutamaan firman Allah azza
wa jalla dibandingkan seluruh perkataan bagaikan keutamaan Allah dengan
selain-Nya (makhluk-Nya.”) (HR. Ad Darimi)
- Al Qur’an Lebih dicintai Allah SWT Daripada Langit dan Bumi
Sabda Rasulullah SAW, ”Al Qur’an lebih
dicintai Allah daripada langit dan bumi serta yang ada didalamnya.” (HR.
Ad Darimi)
- Al Qur’an Adalah Cahaya Ditengah Kegelapan
Sabda Rasulullah SAW,”Aku wasiatkan kepada
kalian agar bertakwa kepada Allah dan Al Qur’an sesungguhnya ia adalah cahaya
kegelapan, petunjuk di siang hari maka bacalah dengan sungguh-sungguh.” (HR.
Baihaqi)
- Ahlul Qur’an adalah Keluarga Allah SWT
Sabda Rasulullah saw, ”Sesungguhnya Allah mempunyai
keluarga dari kalangan manusia.’ Beliau saw ditanya,’Siapa mereka wahai
Rasulullah.’ Beliau saw menjawab,’mereka adalah Ahlul Qur’an, mereka adalah
keluarga Allah dan orang-orang khusus-Nya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
- Mereka Adalah Sebaik-Baik Umat.
Sabda Rasulullah saw, ”Sebaik-baik kalian
adalah yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhori, Abu
Daud dan tirmidzi)
4. Al-qur’an sebagai Sarana zikr
Jika kita mendengar orang membaca ayat Quran kita
boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Alquran,dan didengarkan dengan sebaik
mungkin,
’Dan apabila dibacakan Quran maka dengarlah dan
perhatikanlah’ [Al-A’raaf ;204]
Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca sebagai sarana
mendekatkan diri kepada Allah untuk diresapi artinya agar lebih mengerti akan
“hakikat”. Namun begitu, al-Qur’an juga bisa digunakan untuk mendapatkan
berkah, agar mendapatkan kesembuhan dari segala penyakit atau demi
tujuan-tujuan lain yang dibenarkan oleh agama. Banyak riwayat-riwayat mengenai
penggunaan al-Qur’an atau doa-doa lainnya sebagai “suwuk” atau mantra.
Diriwayatkan oleh ‘Auf bin Malik, ia berkata:
“Pada zaman Jahliyah dahulu kami menggunakan
mantra, kemudian kami menanyakan pada Rasulullah: ‘Bagaimana baginda melihat
itu semua’. Kemudian beliau berkata: ‘Perlihatkan mantra-mantra kalian
kepadaku. Tidak ada larangan untuk mantra-mantra selama tidak berupa syirik.'”
HR. Muslim no. 4079.
Lihat pula riwayat Bukhori no. 2115 tentang
penggunaan surat al-Fatihah sebagai mantra, dan riwayat-riwayat lainnya. Dengan
adanya riwayat-riwayat ini, lalu para ulama’ menyimpulkan bahwa al Qur’an dan
dzikir-dzikir lainnya dapat digunakan untuk mengambil berkah.
Mengambil berkah al-Qur’an dengan membacanya
kemudian meniup dengan mulut, sebagaimana riwayat Bukhori no. 2115. Juga
sebagaimana riwayat Bukhori nomor 5307 dari ‘Aishah ra. ia berkata: Rasulullah
jika berbaring di pembaringannya, selalu meniup di kedua telapak tangannya
dengan “qul huwallaahu ahad” dan “mu’awwidzatain”, kemudian beliau mengusapkan
kedua telapak tangannya pada mukanya dan semua badan yang dapat disentuh oleh
kedua tangannya.
‘Aishah berkata: “Kemudian di saat Rasul sakit,
beliau memerintahkan kepadaku agar saya melakukannya untuk beliau.”
Allah berfirman
وَهَذَا
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُونَ
“Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan
yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.”
(al-An’am:155)
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ
أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ
لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk
kepada (jalan ) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang
Mu’min yang menjajakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang benar.”
(al-Isra’:9)
B. MAKNA DAN MACAM-MACAM SUNNAH
1. Pengertian Sunnah, Secara etimologis hadits bisa berarti :
- Baru, seperti kalimat : ” Allah Qadim mustahil Hadits “.
- Dekat, seperti : ” Haditsul ” ahli bil Islam “.
- Khabar, seperti : “Falya’tu bi haditsin mitslihi “.
Dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti : Segala
Perbuatan, Perkataan, dan Keizinan Nabi Muhammad saw. ( Af ‘al, Aqwal dan
Taqrir ). Pengertian hadits sebagaimana tersebut diatas adalah identik dengan
Sunnah, yang secara etimologis berarti jalan atau tradisi, sebagaimana dalam
Al-Qur’an : ” Sunnata man qad arsalna ” ( al-Isra :77 ). Juga dapat
berarti : Undang-undang atau peraturan yang tetap berlaku,Cara yang
diadakan,jalan yang telah dijalani.
Ada yang berpendapat antara Sunnah dengan Hadits
tersebut adalah berbeda-beda. Akan tetapi dalam kebiasaan hukum Islam antara
Hadits dan Sunnah tersebut hanyalah berbeda dalam segi penggunaannya saja,
tidak dalam tujuannya.
Sunnah adalah sumber Hukum Islam ( Pedoman Hidup
Kaum Muslimin ) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman
kepada Al-Qur’an sebagai sumber hukum, maka secara otomatis harus percaya
bahwa Sunnah sebagai sumber Islam juga.
Ayat-ayat Al-Qur’an cukup banyak untuk dijadikan
alasan yang pasti tentang hal ini, seperti
- Setiap mu’min harus taat kepada Allah dan Rasul-nya (al-Anfal :20, Muhammad :33, an-Nisa :59, Ali-Imran :32, al-Mujadalah : 13, an-Nur : 54,al-Maidah : 92 ).
- Kepatuhan kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah ( an-Nisa :80, Ali-Imran :31 ).
- Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa ( an-Anfal :13, Al-Mujadalah :5, an-Nisa :115 ). Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. ( an-Nisa’:65 ).
- Kemudian perhatikan ayat-ayat : an-Nur : 52; al-Hasyr : 4; al-Mujadalah : 20; an-Nisa’: 64 dan 69; al-Ahzab: 36 dan 71; al-Hujurat :1; al-Hasyr : 7 dan sebagainya.
Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber
hukum, maka kaum Muslimin akan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hal :
cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab
ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum,
dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasullullah. Selain itu
juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang
musytarak, muhtamal dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk
menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan
kepada pertimbangan rasio sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran
yang sangat subjektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
2. Sejarah Kodifikasi
Sunnah / Hadist
A. Hadits pada Periode Pertama (Masa Rasulullah)
1. Masa Penyebaran Hadits
Rasulullah hidup di tengah-tengah masyarakat dan
sahabatnya. Mereka bergaul secara bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau
larangan yang memepersulit para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala
perbuatan, ucapan, dan sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan nabi
sebagai panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada permasalahan baik
dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa langsung
bertanya pada Nabi.Beliau bersabda
“Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati
hanya satu ayat!”
Perintah tersebut membawa pengaruh yang sangat baik
untuk menyebarkan hadits. Karena secara bertahap, seluruh masyarakat muslim
baik yang berada di Madinah maupun yang di luar Madinah akan segera mengetahui
hukum–hukum agama yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian dari
mereka tidak memperoleh langsung dari Rasulullah, mereka akan memperoleh dari
saudara–saudara mereka yang mendengar langsung dari Rasulullah. Metode
penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai Haji Wada’ dan wafatnya Rasulullah.
Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran
hadits di masa Rasulullah :
- Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
- Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan.
- Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya.
2. Penulisan Hadits dan Pelarangannya
Penyebaran hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya
disebarkan lewat mulut ke mulut (secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan
banyak sahabat yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena Nabi melarang
untuk menulis hadits. Beliau khawatir hadits akan bercampur dengan ayat-ayat
Al-Quran.
Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang
menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits adalah :
- Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
- Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
- Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.
B. Hadits pada Periode Kedua (Masa Khulafa’
al-Rasyidin)
1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab
Setelah Rasulullah wafat, banyak sahabat yang
berpindah ke kota-kota di luar Madinah. Khalifah Abu Bakar menerapkan peraturan
yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga dengan Khalifah Umar ibn
al-Khattab. Dengan demikian periode tersebut disebut dengan Masa Pembatasan.
Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah
penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam
permasalahan yang umum.
Namun pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua
khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap
periwayatan hadits. Abu Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan
hadits.Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam
menerapkan peraturan pembatasan riwayat hadits pada masa pemerintahannya. Namun
di sisi lain, Umar ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadits.
Umar mengutus para ulama untuk menyebarkan al-Qur’an dan hadits.
2. Masa Pemerintahan Utsman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib
Secara umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn
Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang
telah ditempuh oleh kedua khlaifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan
tidaklah setegas langkah khalifah Umar ibn al-Khattab. Keleluasaan periwayatan
hadits tersebut juga disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih
lunak jika dibandingkan dengan Umar Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang
semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat
secara maksimal.
Sedangkan pada masa Ali bin Abi Thalib, situasi
pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu
merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antar
beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara
tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam periwayatan hadits.
Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan
hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.
3. Situasi Periwayatan Hadits
Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang
dilakukan para sahabat berciri pada 2 tipologi periwayatan.
- Dengan menggunakan lafal hadits asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah.
- Hanya maknanya saja. Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis dengan yang disabdakan Nabi.
C. Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil –
Tabi’in Besar)
1. Masa Penyebarluasan Hadits
Sesudah masa Khulafa’ al-Rasyidin, timbullah usaha yang
lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara
periwayatan hadits pun sudah dibakukan. luasnya wilayah Islam dan kepentingan
golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir
masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih
mengunggulkan golongannya.
Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode
ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah. Seorang ulama Syi’ah, Ibnu
Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah,
“Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang
mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan Syi’ah
sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah
(Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi
hadits golongan Syi’ah itu”
Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di
masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi’ah, Imam Malik menamai kota Iraq
(pusat kaum Syi’ah) sebagai “Pabrik Hadits Palsu”.
2. Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadits
- Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
- Abdullah bin Umar meriwayatkan 2630 hadits
- Anas bin Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
- Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
- Abdullah bin Abbas meriwayatkan 1660 hadits
- Jabir bin Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
- Abu Sa’id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.
3. Macam-Macam Hadits
Tingkatan dan Jenis Hadits
- Hadits Shohih (Sah/benar/sehat),yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Sanadnya bersambung;
- Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
- Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
- Hadits Hasan (Bagus/Baik), bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
- Hadits Dho’if (Lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
- Hadits Marfu’ (Semua sanadnya bersandar kepada Rasulullah Saw) adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)
- Hadits Mushahhaf (Kesalahan terjadi pada catatan / bacaannya)
- Hadits Muttasil (Sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw)
- Hadits Mauquf (Sanadnya boleh jadi bersambung, boleh jadi terputus), adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu’. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara’id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: “Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah”. Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti “Kami diperintahkan..”, “Kami dilarang untuk…”, “Kami terbiasa… jika sedang bersama rasulullah” maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu’.
- Hadits Mun-qoti’ (Dho’if, karena terputus sanadnya), Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
- Hadits Mursal (Dho’if dan Mardud), Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi’in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi’in (penutur2) mengatakan “Rasulullah berkata” tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
- Hadits Mu’allak(Terselubung cacatnya / merusak keshohihan Hadits) bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: “Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan….” tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).
- Hadits Ghorib (Yang menyendiri) bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
- Hadits Masyhur (Nyata), bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
- Hadits Mudallas (Gelap / Menyembunyikan cacat dalam sanad), disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya
- Hadits Mutawatir (Berturut Sanadnya), adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma’nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
- Hadits Syadz (Bertentangan), , Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang terpercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
- Hadits Mudraj (Ada tambahan, yang bukan bagian dari Hadits), yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
- Hadits Maqlub (Dho’if. Karena ada pergantian lafaz), yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
- Hadits Mudhtorib (Rusak susunan), artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
- Hadits Mu’alhal (Menggugurkan dua Perawi aslinya)(Hukumnya Dho’if), artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma’lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu’tal (Hadits sakit atau cacat)
- Hadits Matruk (Dho’if yang paling buruk. Perawinya tertuduh Pendusta), yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
- Hadits Maudhu’ (Palsu. Kebohongan yang diciptakan dan disandarkan kepada Rasul Saw), bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
- Hadits Munkar (Cacat dan Palsu perawinya kedapatan berbuat Fasiq), yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.
Sunnah ada enam Kitab Hadits yang ternama, yang
merupakan pegangan penjelasan utama bagi umat Islam. Keenam Kitab tersebut
ialah :
- Shohih Imam Al-Bukhari.
- Shohih Imam Muslim.
- Imam Abu Daud.
- Imam An-Nasa’iy.
- Shohih At-Turmidzy.
- Imam Ibnu Majah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar